BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Masalah perkotaan pada
saat ini telah menjadi masalah yang cukup rumit untuk diatasi. Perkembangan
perkotaan membawa pada konsekuensi negatif pada beberapa aspek, termasuk aspek
lingkungan. Dalam tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan
ruang terbuka hijau. Namun, adanya kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan
aktivitasnya, ruang hijau tersebut cenderung mengalami konversi guna lahan
menjadi kawasan terbangun. Sebagian besar permukaannya, terutama di pusat kota,
tertutup oleh jalan, bangunan dan lain-lain dengan karakter yang sangat
kompleks dan berbeda dengan karakter ruang terbuka hijau. Hal-hal tersebut
diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum dan penyadaran masyarakat terhadap
aspek penataan ruang kota sehingga menyebabkan munculnya permukiman kumuh di
beberapa ruang kota dan menimbulkan masalah kemacetan akibat tingginya hambatan
samping di ruas-ruas jalan tertentu
Ruang-ruang kota yang
ditata terkait dan saling berkesinambungan ini mempunyai berbagai pendekatan
dalam perencanaan dan pembangunannya. Tata guna lahan, sistem transportasi, dan
sistem jaringan utilitas merupakan tiga faktor utama dalam menata ruang kota.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ruang kota selain dikaitkan dengan
permasalahan utama perkotaan yang akan dicari solusinya juga dikaitkan dengan
pencapaian tujuan akhir dari suatu penataan ruang yaitu untuk kesejahteraan,
kenyamanan, serta kesehatan warga dan kotanya.
1.2.Rumusan Masalah
Beradasarkan latar
belakang di atas maka hal yang akan dibahas di sini adalah definisi serta
peran dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam perencanaan kota.
1.3.Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan
masalah yang telah disebutkan diatas maka penulisan ini bertujuan sebagai
berikut:
1. Untuk memenuhi tugas
dari mata kuliah perencanaan kota dan daerah.
2. Untuk mengetahui
bagaimana pengertian atau defenisi dari Ruang Terbuka Hijau (RTH)
3. Untuk mengetahui
bagaimana RTH berperan dalam perencanaan kota.
1.4.Manfaat Penulisan
Adapun manfaat
penulisan yang diharapkan melalui penulisan ini adalah:
Diharapkan dapat
menambah wawasan penulis khususnya tentang organisasi organisasi sosial
kemasyarakatan umumnya mengenai masalah yang ada dalam sosiologi organisasi,
dan memberikan sumbangan yang baik bagi kalangan akademis serta dapat menambah
khazanah ilmu pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Ruang Terbuka
Secara
umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari
ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH)
perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah
perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun
introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural
yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang
terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun
ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun
areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan retensi. Secara fisik RTH dapat
dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan
taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman,
lapangan olah raga, dan kebun bunga. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan
kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan
temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara
lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, sempadan sungai dll.
Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang
interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai tetenger kota yang berbudaya.
Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan
olah raga, kebun raya, TPU dan sebagainya
Permintaan akan
pemanfaatan lahan kota yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif untuk
pembangunan berbagai fasilitas perkotaan, termasuk kemajuan teknologi, industri
dan transportasi, selain sering mengubah konfigurasi alami lahan/bentang alam
perkotaan juga menyita lahan-lahan tersebut dan berbagai bentukan ruang terbuka
lainnya. Hal ini umumnya merugikan keberadaan RTH yang sering dianggap sebagai
lahan cadangan dan tidak ekonomis. Di lain pihak, kemajuan alat dan pertambahan
jalur transportasi dan sistem utilitas, sebagai bagian dari peningkatan
kesejahteraan warga kota, juga telah menambah jumlah bahan pencemar dan telah
menimbulkan berbagai ketidak nyamanan di lingkungan perkotaan. Untuk mengatasi
kondisi lingkungan kota seperti ini sangat diperlukan RTH sebagai suatu teknik
bioengineering dan bentukan biofilter yang relatif lebih murah, aman, sehat,
dan menyamankan.
Ruang-ruang kota yang
ditata terkait dan saling berkesinambungan ini mempunyai berbagai pendekatan
dalam perencanaan dan pembangunannya. Tata guna lahan, sistem transportasi, dan
sistem jaringan utilitas merupakan tiga faktor utama dalam menata ruang kota.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ruang kota selain dikaitkan dengan
permasalahan utama perkotaan yang akan dicari solusinya juga dikaitkan dengan
pencapaian tujuan akhir dari suatu penataan ruang yaitu untuk kesejahteraan, kenyamanan,
serta kesehatan warga dan kotanya.
2.2.Ruang Terbuka Hijau
Secara historis pada
awalnya istilah ruang terbuka hijau hanya terbatas untuk vegetasi berkayu
(pepohonan) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari lingkungan kehidupan
manusia. Danoedjo (1990) dalam Anonimous (1993) menyatakan bahwa ruang terbuka
hijau di wilayah perkotaan adalah ruang dalam kota atau wilayah yang lebih
luas, dimana didominasi oleh tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alami. Ruang
terbuka hijau dapat dikelompokkan berdasarkan letak dan fungsinya sebagai
berikut :
· ruang terbuka kawasan
pantai (coastal open space);
· ruang terbuka di
pinggir sungai (river flood plain);
· ruang terbuka pengaman
jalan bebas hambatan (greenways);
· ruang terbuka pengaman
kawasan bahaya kecelakaan di ujung landasan Bandar Udara.
Berdasarkan fungsi dan luasan, ruang
terbuka hijau dibedakan atas :
· Ruang terbuka makro,
mencakup daerah pertanian, perikanan, hutan lindung, hutan kota, dan pengaman
di ujung landasan Bandar Udara;
· Ruang terbuka medium,
mencakup pertamanan kota, lapangan olah raga, Tempat Pemakaman Umum (TPU);
· Ruang terbuka mikro,
mencakup taman bermain (playground) dan taman lingkungan (community park).
Haryadi (1993) membagi
sistem budidaya dalam ruang terbuka hijau dengan dua sistem yaitu sistem
monokultur dan sistem aneka ragam hayati. Sistem monokultur hanya terdiri dari
satu jenis tanaman saja, sedang sistem aneka ragam hayati merupakan sistem
budidaya dengan menanam berbagai jenis tanaman (kombinasi antar jenis) dan
dapat juga kombinasi antar flora dan fauna, seperti perpaduan antaran taman
dengan burung-burung merpati. Banyak pendapat tentang luas ruang terbuka hijau
ideal yang dibutuhkan oleh suatu kota.
Perserikatan Bangsa -
Bangsa (PBB) melalui World Development Report (1984) menyatakan bahwa
prosentase ruang terbuka hijau yang harus ada di kota adalah 50% dari luas kota
atau kalau kondisi sudah sangat kritis minimal 15% dari luas kota. Direktorat
Jendral Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, menyatakan bahwa luas ruang
terbuka hijau yang dibutuhkan untuk satu orang adalah 1,8 m2. Jadi ruang
terbuka hijau walaupun hanya sempit atau dalam bentuk tanaman dalam pot tetap
harus ada di sekitar individu. Lain halnya jika ruang terbuka hijau akan
dimanfaatkan secara fungsional, maka luasannya harus benar-benar diperhitungkan
secara proporsional.
RTH perkotaan
mempunyai manfaat kehidupan yang tinggi. Berbagai fungsi yang terkait dengan
keberadaannya (fungsi ekologis, sosial, ekonomi, dan arsitektural) dan nilai
estetika yang dimilikinya (obyek dan lingkungan) tidak hanya dapat dalam
meningkatkan kualitas lingkungan dan untuk kelangsungan kehidupan perkotaan
tetapi juga dapat menjadi nilai kebanggaan dan identitas kota. Untuk mendapatkan
RTH yang fungsional dan estetik dalam suatu sistem perkotaan maka luas minimal,
pola dan struktur, serta bentuk dan distribusinya harus menjadi pertimbangan
dalam membangun dan mengembangkannya. Karakter ekologis, kondisi dan ke-inginan
warga kota, serta arah dan tujuan pembangunan dan perkembangan kota merupakan
determinan utama dalam menentukan besaran RTH fungsi-onal ini.
Keberadaan
RTH penting dalam mengendalikan dan memelihara integritas dan
kualitas lingkungan. Pengendalian pembangunan wilayah perkotaan harus dilakukan
secara proporsional dan berada dalam keseimbangan antara pembangunan dan
fungsi-fungsi lingkungan. Kelestarian RTH suatu wilayah perkotaan harus
disertai dengan ketersediaan dan seleksi tanaman yang sesuai dengan arah
rencana dan rancangannya.
2.3.Fungsi Ruang Terbuka Hijau
Tanaman secara
fisiologis bersifat menetralisir keadaan lingkungan yang berada di bawah daya
tampung lingkungan. Kemampuan ini dapat berasal dari kerja fotosintesis yang
dapat menyerap polutan udara melalui proses evapotranspirasi dapat menyimpan
air hujan sebagai imbuhan untuk air tanah; sedangkan aroma yang dikeluarkan
tanaman, maupun bentuk fisik tanaman (bentuk tajuk dan pilotaxy batang yang
khas) secara tidak langsung bermanfaat untuk melindungi lingkungan dari terik
matahari atau mencegah erosi dan sedimentasi. Dengan kemampuan tersebut, maka
tanaman dalam ruang terbuka hijau memiliki fungsi sebagai berikut :
a. Ameliorasi iklim, artinya dapat
mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro. Ruang terbuka hijau menghasilkan O2
dan uap air (H2O) yang menurunkan, serta menyerap CO2 yang bersifat gas rumah
kaca sehingga dapat menaikkan suhu udara dan berpengaruh pada iklim mikro
setempat
b. Memberikan perlindungan terhadap
terpaan angin kencang dan peredam suara. Tanaman berfungsi sebagai pematah
angin (windbreak) dan peredam suara (soundbreak)
c. Memberikan perlindungan terhadap
terik sinar matahari. Kehadiran tanaman dalam ruang terbuka hijau akan
mengintersepsi dan memantulkan radiasi matahari untuk fotosintesis dan
transpirasi sehingga di bawah tajuk akan terasa lebih sejuk
d. Memberikan perlindungan
terhadap asap dan gas beracun, serta penyaring udara kotor dan debu
e. Mencegah erosi. Arsitektur tanaman
(pilotaxi) berupa pohon akan mempengaruhi sifat aliran batang (steam flow) air
hujan yang tertampung oleh tajuk, sehingga dapat mempengaruhi tata air dan
erosi lahan.
f. Merupakan sarana penyumbang
keindahan dan keserasian antara struktur buatan manusia secara alami
g. Ruang terbuka hijau berfungsi secara
tidak langsung untuk memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat.
h. Membantu peresapan air hujan
sehingga memperkecil erosi dan banjir serta membantu
penanggulangan intrusi air laut. Tanaman dalam ruang terbuka hijau
yang diperuntukkan untuk mencegah intrusi air laut adalah jenis tanaman yang
berkemampuan dalam menyerap, menyimpan, dan memasok air. Sebagai sarana
rekreasi dan olah raga;
i. Tempat hidup dan berlindung bagi
hewan dan pakan mikroorganisme;
j. Sebagai tempat konservasi satwa
dan tanaman lain;
k. Sarana penelitian dan pendidikan;
l. Sebagai pelembut, pengikat, dan
pemersatu bangunan;
m. Meningkatkan taraf hidup
masyarakat sekitar ruang terbuka hijau, apabila jenis tanaman yang ditanam
bernilai ekonomi;
n. Sarana untuk bersosialisasi
antar warga masyarakat;
o. Sebagai media pengaman antar jalur
jalan.
Sesuai instruksi
Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di
wilayah perkotaan memuat hal-hal sebagai berikut :
· Merencanakan,
melaksanakan, dan mengendalikan penyelenggaraan ruang terbuka hijau di kota
sesuai dan tertuang dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota masing-masing;
· Bagi daerah yang telah
memiliki Ruang Terbuka Hijau, maka harus mengadakan penyesuaian dengan
peraturan instruksi ini;
· Melaksanakan
pengelolaan dan pengendalian fungsi serta peranan Ruang Terbuka Hijau dengan
melarangnya untuk penggunaan dan peruntukan ruang yang lain;
· Melaksanakan
pengelolaan Ruang Terbuka Hijau untuk mencapai pembangunan berwawasan lingkungan.
2.4.Elemen Pengisi RTH
RTH dibangun dari
kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi dan
disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukkannya. Lokasi
yang berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan industri, sempadan
badan-badan air, dll) akan memiliki permasalahan yang juga berbeda yang
selanjutnya berkonsekuensi pada rencana dan rancangan RTH yang berbeda.
Untuk
keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan
ciri serta kriteria arsitektural dan hortikultural tanaman dan vegetasi
penyusun RTH harus menjadi bahan pertimbangan dalam men-seleksi jenis-jenis
yang akan ditanam.Persyaratan umum tanaman untuk ditanam di wilayah perkotaan:
a. Disenangi dan tidak berbahaya bagi
warga kota,
b. Mampu tumbuh pada lingkungan yang
marjinal (tanah tidak subur, udara dan air yang tercemar)
c. Tahan terhadap gangguan fisik
(vandalisme)
d. Perakaran dalam sehingga tidak mudah
tumbang
e. Tidak gugur daun, cepat tumbuh,
bernilai hias dan arsitektural
f. Dapat menghasilkan O2 dan
meningkatkan kualitas lingkungan kota
g. Bibit/benih mudah didapatkan dengan
harga yang murah/terjangkau oleh masyarakat
h. Prioritas menggunakan vegetasi
endemik/lokal
i. Keanekaragaman hayati
Jenis tanaman endemik
atau jenis tanaman lokal yang memiliki keunggulan tertentu (ekologis, sosial
budaya, ekonomi, arsitektural) dalam wilayah kota tersebut menjadi bahan
tanaman utama penciri RTH kota tersebut, yang selanjutnya akan dikembangkan
guna mempertahankan keanekaragaman hayati wilayahnya dan juga nasional.
2.5.Teknis Perencanaan RTH
Dalam rencana
pembangunan dan pengembangan RTH yang fungsional suatu wilayah perkotaan, ada 4
(empat) hal utama yang harus diperhatikan yaitu
a. Luas RTH minimum yang diperlukan
dalam suatu wilayah perkotaan di-tentukan secara komposit oleh tiga komponen
berikut ini, yaitu:
1) Kapasitas atau daya dukung alami
wilayah
2) Kebutuhan per kapita (kenyamanan,
kesehatan, dan bentuk pela-yanan lainnya)
3) Arah dan tujuan pembangunan kota RTH
berluas minimum merupakan RTH berfungsi ekologis yang ber-lokasi, berukuran,
dan berbentuk pasti, yang melingkup RTH publik dan RTH privat.
b. Lokasi lahan kota yang
potensial dan tersedia untuk RTH
c. Sruktur dan pola RTH yang akan
dikembangkan (bentuk, konfigurasi, dan distribusi) Seleksi tanaman sesuai
kepentingan dan tujuan pembangunan kota.
Menurut Correa,
(1988), dalam penelitian dikatakan bahwa apabila RTH diabstraksikan
kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial tercermin di dalam 4 (empat) unsur
utama, yaitu :
a. Ruang keluarga yang digunakan untuk
keperluan pribadi
b. Daerah untuk bergaul/ sosialisasi
dengan tetangga
c. Daerah tempat pertemuan warga
d. Daerah ruang terbuka utama yang
digunakan untuk kegiatan bersama seluruh warga masyarakat
2.6. Pendekatan Kebutuhan Ruang Terbuka
Hijau Berdasarkan Fungsinya
Pendekatan ini
didasarkan atas satu atau lebih manfaat yang dapat diperoleh oleh pengguna,
terutama di kawasan perkotaan. Secara umum manfaat yang diinginkan adalah
berupa perolehan kondisi dan atau suasana yang sifatnya membangun kesehatan
jasmani dan rohani manusia.
a. Peningkatan kesehatan dan kesegaran
lingkungan
b. Penciptaan susunan ruang vista
c. Penciptaan ruang bagi
pendidikan lingkungan.
· Pola Pengembangan
Ruang Terbuka Hijau di Beberapa Kota Besar
Pola pengembangan
ruang terbuka hijau di berbagai kota memiliki keragaman penanganan yang
disesuaikan dengan kondisi fisik wilayah, pola hidup masyarakat, dan
konsistensi kebijakan pemerintah.
Berikut akan diuraikan
beberapa kasus pengembangan ruang terbuka hijau kota sebagai bahan komparasi
untuk memperoleh masukan yang komprehensif mengenai bentuk pengaturan yang akan
dihasilkan.
a) Ruang Terbuka Hijau di
Luar Negeri
Kesadaran pembangunan
perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara maju telah berlangsung dalam
hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, ruang terbuka hijau ditata dalam bentuk
taman-taman atau kebun yang tertutup oleh dinding dan lahan-lahan pertanian
seperti di lembah sungai Efrat dan Trigis, dan taman tergantung Babylonia yang sangat
mengagumkan, The Temple of Aman Karnak, dan taman-taman perumahan.
Selanjutnya bangsa
Yunani dan Romawi mengembangkan Agora, Forum, Moseleum dan berbagai ruang kota
untuk memberi kesenangan bagi masyarakatnya dan sekaligus lambang kebesaran
dari pemimpin yang berkuasa saat itu.
Gerakan baru yang
lebih sadar akan arti lingkungan melahirkan taman kota skala besar dan dapat
disebut sebagai pemikiran awal tentang sistem ruang terbuka kota. Central
Park New Yorkoleh Frederick Law Olmested dan Calvert Voux melahirkan
profesi Arsitektur Lansekap yang kemudian mengembang dan mendunia.
Melihat kenyataan
tersebut tampaknya kebutuhan ruang terbuka yang tidak hanya mengedepankan aspek
keleluasaan, namun juga aspek kenamanan dan keindahan di suatu kota sudah tidak
dapat dihidari lagi, walaupun dari hari ke hari ruang terbuka hijau kota
menjadi semakin terdesak. Beberapa pakar mengatakan bahwa ruang terbuka hijau
tidak boleh kurang dari 30%, Shirvani (1985), atau 1.200 m2 tajuk tanaman
diperlukan untuk satu orang, Grove (1983).
Bagaimana kota-kota di
Mancanegara menghadapi hal ini, berikut diuraikan beberapa kota-kota yang
dianggap dapat mewakili keberhasilan Pemerintah Kota dalam pengelolaan ruang
terbuka hijau kota.
b) Ruang
Terbuka Hijau di Dalam Negeri
Hampir semua studi
mengenai perencanaan kota (yang dipublikasikan dalam bentuk rencana umum tata
ruang kota dan pendetailannya) menyebutkan bahwa kebutuhan ruang terbuka di
perkotaan berkisar antara 30% hingga 40%, termasuk di dalamnya bagi kebutuhan
jalan, ruang-ruang terbuka perkerasan, danau, kanal, dan lain-lain. Ini berarti
keberadaan ruang terbuka hijau (yang merupakan sub komponen ruang terbuka)
hanya berkisar antara 10 % – 15 %.
Kenyataan ini sangat
dilematis bagi kehidupan kota yang cenderung berkembang sementara kualitas
lingkungan mengalami degradasi/kemerosotan yang semakin memprihatinkan. Ruang
terbuka hijau yang notabene diakui merupakan alternatif terbaik bagi
upaya recovery fungsi ekologi kota yang hilang, harusnya menjadi perhatian
seluruh pelaku pembangunan yang dapat dilakukan melalui gerakan sadar
lingkungan, mulai dari level komunitas pekarangan hingga komunitas pada
level kota.
Sebagai contoh
Pembangunan infrastruktur di kota Makassar makin maju. Tapi ruang terbuka hijau
makin minim. Begitu minimnya, ruang terbuka hijau (RTH) di makassar
tak cukup sepuluh persen dibanding luas wilayah. Padahal seharusnya, minimal 30
persen. Minimnya RTH ini tentu berdampak pada kesehatan lingkungan. Sebab kota
yang sehat, tentu harus memiliki paru-paru kota. Dan paru-paru kota itu adalah
taman-taman kota. Hadirnya taman kota yang cukup juga sangat penting dalam
mewujudkan makassar sebagai kota dunia 2025 mendatang.
2.7 Upaya Peningkatan Kualitas dan
Kuantitas RTH
Ruang terbuka hijau
sebaiknya ditanami pepohonan yang mampu mengurangi polusi udara secara
signifikan.. Menurut penelitian di laboratorium,pohon yang baik di tanam adalah
pohon felicium, mahoni, kenari, salam, perdu dan anting anting. Upaya yang
penanaman bisa pula dilakukan warga kota di halaman rumah masing-masing. Dengan
penanaman pohon atau tanaman perdu tadi, selain udara menjadi lebih sejuk,
polusi udara juga bisa dikurangi. Untuk menutupi kekurangan tempat menyimpan
cadangan air tanah, setiap keluarga bisa melengkapi rumahnya, yang masih
memiliki sedikit halaman, dengan sumur resapan. Sumur resapan merupakan sistem
resapan buatan yang dapat menampung air hujan, baik dari permukaan tanah maupun
dari air hujan yang disalurkan melalui atap bangunan. Bentuknya dapat berupa
sumur, kolam dengan resapan, dan sejenisnya. Pembuatan sumur resapan ini
sekaligus akan mengurangi debit banjir dan genangan air di musim hujan. Salah
satu contoh upaya yang baik untuk mengembalikan kualitas dan kuantitias RTH
yang dapat diterapkan di lingkungan permukiman adalah beberapa kebijaksanaan
perencanaan oleh pemerintah
Upaya yang harus
dilakukan Kota Makassar dalam menjaga keseimbangan ekologi lingkungan sebagai
berikut:
· Pada kawasan terbangun
kota, harus disediakan RTH yang cukup yaitu:
Untuk kawasan yang padat, minimum
disediakan area 10 % dari luas total kawasan.
Untuk kawasan yang kepadatan
bangunannya sedang harus disediakan ruang terbuka hijau minimum 15 % dari luas
kawasan.
· Untuk kawasan
berkepadatan bangunan rendah harus disediakan ruang terbuka hijau minimum 20 %
terhadap luas kawasan secara keseluruhan.
ü Pada kawasan terbangun
kota, harus dikendalikan besaran angka Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maupun
Koefisien Lantai Bangunan (KLB) sesuai dengan sifat dan jenis penggunaan tanahnya.
Secara umum pengendalian KDB dan KLB ini adalah mengikuti kaidah semakin besar
kapling bangunan, nilai KDB dan KLB makin kecil, sedangkan semakin kecil ukuran
kapling, maka nilai KDB dan KLB akan semakin besar.
ü Untuk mengendalikan
kualitas air dan penyediaan air tanah, maka bagi setiap bangunan baik yang
telah ataupun akan membangun disyaratkan untuk membuat sumur resapan air. Hal
ini sangat penting artinya untuk menjaga agar kawasan terbangun kota, tinggi
muka air tanah agar tidak makin menurun. Pada tingkat yang tinggi, kekurangan
air permukaan ini akan mampu mempengaruhi kekuatan konstruksi bangunan.
ü Untuk meningkatkan
daya resap air ke dalam tanah, maka perlu dikembangkan kawasan resapan air yang
menampung buangan air hujan dari saluran drainase. Upaya lain yang perlu
dilakukan adalah dengan membuat kolam resapan air pada setiap wilayah tangkapan
air.
ü Untuk kawasan
pemukiman sebaiknya jarak maksimum yang ditempuh menuju salah satu jalur
angkutan umum adalah 250 meter.
BAB III
KESIMPULAN
3.1.Kesimpulan
Permintaan akan
pemanfaatan lahan kota yang terus tumbuh dan bersifat akseleratif untuk untuk
pembangunan berbagai fasilitas perkotaan, termasuk kemajuan teknologi, industri
dan transportasi, selain sering mengubah konfigurasi alami lahan/bentang alam
perkotaan juga menyita lahan-lahan tersebut dan berbagai bentukan ruang terbuka
lainnya. Hal ini umumnya merugikan keberadaan RTH yang sering dianggap sebagai
lahan cadangan dan tidak ekonomis. Maka dari itu perlunya keberadaan RTH untuk
melestarikan dan menjaga kestabilan lingkungan perkotaan.
Untuk
keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan
ciri serta kriteria arsitektural dan hortikultural tanaman dan vegetasi
penyusun RTH harus menjadi bahan pertimbangan dalam menseleksi jenis-jenis yang
akan ditanam. RTH perkotaan mempunyai manfaat kehidupan yang tinggi. Berbagai
fungsi yang terkait dengan keberadaannya (fungsi ekologis, sosial, ekonomi, dan
arsitektural) dan nilai estetika yang dimilikinya (obyek dan lingkungan) tidak
hanya dapat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan untuk kelangsungan
kehidupan perkotaan tetapi juga dapat menjadi nilai kebanggaan dan identitas
kota. Untuk mendapatkan RTH yang fungsional dan estetik dalam suatu sistem
perkotaan maka luas minimal, pola dan struktur, serta bentuk dan distribusinya
harus menjadi pertimbangan dalam membangun dan mengembangkannya.
B. Saran
ü Beberapa upaya yang
harus dilakukan oleh Pemerintah antara lain adalah:
· Melakukan revisi UU
24/1992 tentang penataan ruang untuk dapat lebih mengakomodasikan kebutuhan
pengembangan RTH;
· Menyusun
pedoman-pedoman pelaksanaan (NSPM) untuk peyelenggaraan dan pengelolaan RTH;
· Menetapkan kebutuhan
luas minimum RTH sesuai dengan karakteristik kota, dan indikator keberhasilan
pengembangan RTH suatu kota;
· Meningkatkan
kampanye dan sosialisasi tentangnya pentingnya RTH melalui gerakan kota hijau
(green cities);
· Mengembangkan
proyek-proyek percontohan RTH untuk berbagai jenis dan bentuk yang ada di
beberapa wilayah kota.
ü Upaya yang dilakukan
masyarakat adalah tetap menjaga kebersihan lingkungan dan senantiasa mendukung
seluruh rencana pemerintah dalam merencanakan RTH di wilayah kota.
DAFTAR PUSTAKA
Yunus, Hadi Sabar,
(2005). Manajemen Kota: Perspektif Spasial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Undang-undang No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang No. 24
Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Widyastama, R. 1991.
Jenis Tanaman Berpotensi untuk Penghijauan Kota.
Danisworo, M, 1998,
Makalah Pengelolaan kualitas lingkungan dan lansekap perkotaan di
indonesia dalam menghadapi dinamika abad XXI.